Lahir dari
bapak yang bernama Muhammad bin Sujak Wijaya merupakan tokoh penghulu asal
kendal pada zamannya. beliau sudah ditunggalkan kedua orang tuanya pada usia
tujuh tahun, dan beliau diasuh oleh kakaknya yang bernama Rojiyah istri seorang
Kiai Asy'ari seorang pengasuh pesantren di kendal kaliwungu.Dan berkat dibawah
asuhanya sang kiai beliau dapat mnguasai berbagai macam ilmu agama yang umum
diajarkan di Pesantren dari ilmu alat sampai ilmu yang lain.
Sejak remaja Ahmad Rifa’i giat melakukan dakwah
keliling di wilayah Kendal dan sekitarnya. Dakwah dan pengajiannya cukup
menarik dengan menggunakan syair ditambah dengan sikapnya yang anti pemerintah
kolonial. Sebelum pengajiannya diketahui pemerintah kolonial, ia telah berhasil
menggalang kekuatan dari santri serta simpatisannya sehingga ketika kemudian
pindah ke Kalisalak ia sudah mempunyai jaringan pengikut yang tersebar di
daerah Kendal dan sekitarnya seperti Wonosobo, Pemalang, Pekalongan dan Batang.
Dalam berdakwah ia tidak segan-segan menghujat penguasa
kolonial dan birokrat pribumi yang berkolaborasi dengan pemerintah kolonial. Ia
memandang pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa kafir dan sumber kerusakan yang terjadi pada
masyarakat Jawa pada masa itu. Ia mengobarkan semangat pada masyarakat untuk
melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial dan mengatakan bahwa perang
melawan penguasa kafir serta antek-anteknya sebagai perang sabil (jihad
fisabilillah), jika gugur akan mati
syahid (Jamil, 2001: 13).
Dalam usia 30 tahun ia menunaikan ibadah haji atas biaya kakaknya. Selama
di Mekkah ia tinggal beberapa tahun untuk
menuntut ilmu
disana. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang pada masa itu di samping menunaikan
ibadah haji juga menuntut ilmu pada ulama setempat. Mekkah dan Madinah atau yang
biasa disebut Haramain (dua tempat suci) menduduki posisi yang sangat
penting dan menjadi daya tarik tersendiri bagi umat Islam. Mekkah dan Madinah
memiliki kedudukan yang berkaitan dengan ibadah haji, kota kelahiran dan
pertumbuhan awal Islam maupun pusat ilmu agama Islam.
Selama di Mekkah K.H. Ahmad Rifa’i berguru kepada sejumlah
ulama di sana. Guru-gurunya antara lain Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Syaikh
Abdurrahman, Syaikh Isa al-Barawi, dan Syaikh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al
Jaisyi (Darban, 1999: 29). Kalangan Rifa’iyah meyakini di Mekkah ia bertemu
dengan dua ulama terkenal Jawa yaitu Imam Nawawi dari Banten dan Kiai Kholil
dari Madura. (Amin, 1994: 29). Ketiganya sangat prihatin dengan kondisi
keagamaan masyarakat di Jawa yang masih jauh dari nilai-nilai Islam. Hal ini
diperparah dengan hadirnya penjajah Belanda di Jawa. Mereka bertiga mengadakan
musyawarah dan hasilnya adalah mereka sepakat untuk mengadakan pembaharuan dan
pemurnian Islam lewat pengajian, dialog, dan penerjemahan kitab-kitab berbahasa
Arab ke dalam bahasa Jawa. Selain itu ketiganya berbagi tugas untuk menulis
kitab. K.H. Ahmad Rifa’i mengarang kitab yang membahas fikih, Kiai Nawawi
menulis kitab yang membahas ushuluddin, dan Kiai Kholil menyusun
kitab tasawuf (Amin, 1994: 29).
Sesudah menuntut ilmu di Mekkah ia pulang ke
Kendal dan membantu kakaknya mengajar di pesantren, pada saat itu ia berumur 51 tahun. Kemudian ia pindah ke Kalisalak sebuah
desa di Kecamatan Limpung Batang yang pada masa itu masuk dalam keresidenan
Pekalongan. Sepulang dari Timur Tengah inilah masa produktif K.H. Ahmad Rifa’i
dalam menulis kitab tarjamah atau
tarojumah, ia mulai menulis kitab ketika berumur 54 tahun (Amin, 1989:
12).
Kitab-kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i dinamakan Tarojumah dan ajarannya juga
dinamakan ajaran
Tarojumah karena memang kitab-kitab karyanya merupakan terjemahan dari beberapa ayat Al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab berbahasa Arab (Amin, 1989: 45). Sebenarnya penamaan kitab Tarojumah sendiri kurang tepat sebab tidak ada satu pun dari karya K.H. Ahmad Rifa’i yang benar-benar merupakan hasil terjemahan dari kitab-kitab berbahasa Arab (Abdullah, 2006: 92).
Karya KH. Ahmad Rifa’i merupakan saduran dari kitab-kitab berbahasa Arab hasil tulisan ulama terdahulu ditambah dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits. Penamaan Tarojumah bertujuan menghindari konsekuensi politis karena banyak ungkapan yang dinilai berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda, nama itu ditampilkan agar terkesan bahwa kitab itu bukanlah pandangan K.H. Ahmad Rifa’i sendiri, tetapi hanya sekadar menyalin dari kitab berbahasa Arab (Jamil, 2001: 25).
Mengenai berapa jumlah kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i masih simpang siur karena ada beberapa pendapat, di antaranya sebagai berikut: 61 buah (Amin 1989: 53), 53 buah (Kartodirdjo dkk, 1976: 301), 55 buah (Kuntowijoyo, 1999: 130). Perbedaan pendapat ini karena K.H. Ahmad Rifa’i juga menulis tanbih (semacam buletin). Sebagian memasukkannya sebagai kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i sementara sebagian lagi tidak memasukkannya. Sebagian besar kitab Tarojumah membahas ushuluddin, fikih, dan tasawuf.
Tarojumah karena memang kitab-kitab karyanya merupakan terjemahan dari beberapa ayat Al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab berbahasa Arab (Amin, 1989: 45). Sebenarnya penamaan kitab Tarojumah sendiri kurang tepat sebab tidak ada satu pun dari karya K.H. Ahmad Rifa’i yang benar-benar merupakan hasil terjemahan dari kitab-kitab berbahasa Arab (Abdullah, 2006: 92).
Karya KH. Ahmad Rifa’i merupakan saduran dari kitab-kitab berbahasa Arab hasil tulisan ulama terdahulu ditambah dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits. Penamaan Tarojumah bertujuan menghindari konsekuensi politis karena banyak ungkapan yang dinilai berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda, nama itu ditampilkan agar terkesan bahwa kitab itu bukanlah pandangan K.H. Ahmad Rifa’i sendiri, tetapi hanya sekadar menyalin dari kitab berbahasa Arab (Jamil, 2001: 25).
Mengenai berapa jumlah kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i masih simpang siur karena ada beberapa pendapat, di antaranya sebagai berikut: 61 buah (Amin 1989: 53), 53 buah (Kartodirdjo dkk, 1976: 301), 55 buah (Kuntowijoyo, 1999: 130). Perbedaan pendapat ini karena K.H. Ahmad Rifa’i juga menulis tanbih (semacam buletin). Sebagian memasukkannya sebagai kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i sementara sebagian lagi tidak memasukkannya. Sebagian besar kitab Tarojumah membahas ushuluddin, fikih, dan tasawuf.
K.H. Ahmad Rifa’i adalah seorang juru dakwah yang pandai, ia mengemas
ajarannya dalam kitab-kitab berbahasa Jawa berhuruf Arab (Arab Pegon)
dan berbentuk syair yang menarik bagi orang Jawa, sehingga ajaran Islam mudah
dihafal dan dipahami oleh masyarakat Jawa pada masa itu (Steenbrink, 1984:
106). Dalam berdakwah ia mengobarkan semangat anti kafir, anti penjajah dan
gagasannya bisa dikategorikan tajdid (pembaharuan) atau purifikasi (pemurnian) dan fikihisasi karena ajarannya bersifat fiqh
oriented (Abdullah, 2006: 34). Hal ini tidak mengherankan mengingat
K.H. Ahmad Rifa’i pernah belajar dan bermukim beberapa tahun di Haramain (Mekkah dan Madinah) yang pada abad ke-19 meskipun secara politis berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani (1299-1923), namun penguasa Turki tidak mampu membendung pengaruh kaum Wahabi yang dipimpin oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang menguasai Jazirah Arabia dalam bidang keagamaan. Gerakan ini sempat pula menguasai kota Mekkah dan Madinah. Kaum Wahabi amat menekankan pentingnya pemahaman akidah secara murni dan ketaatan pada syari’ah.
K.H. Ahmad Rifa’i pernah belajar dan bermukim beberapa tahun di Haramain (Mekkah dan Madinah) yang pada abad ke-19 meskipun secara politis berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani (1299-1923), namun penguasa Turki tidak mampu membendung pengaruh kaum Wahabi yang dipimpin oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang menguasai Jazirah Arabia dalam bidang keagamaan. Gerakan ini sempat pula menguasai kota Mekkah dan Madinah. Kaum Wahabi amat menekankan pentingnya pemahaman akidah secara murni dan ketaatan pada syari’ah.
Imbas gerakan Wahabi sampai pula di Nusantara, orang-orang yang baru pulang
menunaikan ibadah haji dari Mekkah sedikit banyak terpengaruh oleh gerakan Wahabi di Jazirah Arab pada abad ke-18 dan 19. Orang, guru
agama, dan kiai yang pulang menunaikan ibadah haji
diperkirakan memperoleh dan terpengaruh ide-ide pembaharuan dan sikap militansi
(Kartodirdjo, 1973: 211). Semangat untuk lepas dari penindasan menjadi modal
untuk membebaskan diri dari kaum penjajah di Jawa, dalam hal ini adalah Belanda
dan antek-anteknya (Steenbrink, 1984: 211).
Semangat yang sama dengan gerakan Wahabi terlihat pula pada pemikiran K.H. Ahmad Rifa’i yang dicirikan dengan sikapnya yang keras terhadap pelbagai bentuk penyimpangan atas ajaran-ajaran Islam dan terhadap para aparat birokrasi tradisional yang berkolaborasi dengan penguasa kafir. Hal ini wajar mengingat salah satu guru K.H. Ahmad Rifa’i yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaisyi adalah salah seorang ulama Wahabi (Abdullah dkk, 2002: 235).
Akan tetapi tidak semua paham Wahabi diambil oleh KH. Ahmad Rifa’i. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungannya pada Mazhab Syafi’i dalam bidang fikih - sementara kaum Wahabi menganut Mazhab Hanbali - dan sumber hukum ajaran Tarojumah adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Ini berbeda dengan paham Wahabi yang hanya bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits serta menuntut adanya ijtihad dalam menggali dan menetapkan suatu hukum yang belum ditemukan dalam dua sumber utama tersebut serta menolak sikap taklid. Selain itu kaum Wahabi sangat menolak tasawuf, hal ini berbeda dengan K.H. Ahmad Rifa’i yang meskipun secara eksplisit tidak berkiblat pada tarekat tertentu tetapi menulis sejumlah kitab tentang tasawuf.
Semangat yang sama dengan gerakan Wahabi terlihat pula pada pemikiran K.H. Ahmad Rifa’i yang dicirikan dengan sikapnya yang keras terhadap pelbagai bentuk penyimpangan atas ajaran-ajaran Islam dan terhadap para aparat birokrasi tradisional yang berkolaborasi dengan penguasa kafir. Hal ini wajar mengingat salah satu guru K.H. Ahmad Rifa’i yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaisyi adalah salah seorang ulama Wahabi (Abdullah dkk, 2002: 235).
Akan tetapi tidak semua paham Wahabi diambil oleh KH. Ahmad Rifa’i. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungannya pada Mazhab Syafi’i dalam bidang fikih - sementara kaum Wahabi menganut Mazhab Hanbali - dan sumber hukum ajaran Tarojumah adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Ini berbeda dengan paham Wahabi yang hanya bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits serta menuntut adanya ijtihad dalam menggali dan menetapkan suatu hukum yang belum ditemukan dalam dua sumber utama tersebut serta menolak sikap taklid. Selain itu kaum Wahabi sangat menolak tasawuf, hal ini berbeda dengan K.H. Ahmad Rifa’i yang meskipun secara eksplisit tidak berkiblat pada tarekat tertentu tetapi menulis sejumlah kitab tentang tasawuf.
Di Kalisalak ia membangun sebuah komunitas
pengajian, mula-mula ia mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an. Namun lambat laun
orang dewasa dari Desa Kalisalak dan sekitarnya tertarik untuk mengaji padanya. Di desa tersebut K.H. Ahmad Rifa’i
menikah dengan janda Demang Kalisalak yang bernama Nyai Sujinah. Pernikahan
K.H. Ahmad Rifa’i dengan Nyai Sujinah menunjukkan bahwa dirinya mendapat
dukungan dari orang yang mempunyai status sosial cukup tinggi yang nantinya
dapat memberi manfaat bagi kelangsungan dakwah.
Di tempat barunya ini K.H. Ahmad Rifa’i menyebarkan pemikiran Islam melalui kitab Tarojumah yang ia tulis sendiri. Kitab Tarojumah ini berbentuk nazham atau syair dalam bahasa Jawa dan berhuruf Arab (Arab Pegon). Hal ini tidak lepas dari kondisi sosio-kultural orang Jawa pada abad ke-19 yang tidak memungkinkan untuk mempelajari dan memahami kitab-kitab yang berbahasa Arab. Selain itu agar mudah dihafalkan dan dipahami. Lambat laun komunitas keagamaan yang dibangun oleh K.H. Ahmad Rifa’i di Kalisalak menarik penduduk sekitar dan daerah lain menjadi santrinya.
Umumnya para santri pengikut K.H. Ahmad Rifa’i adalah masyarakat desa yang mayoritas bekerja sebagai petani. Untuk memfasilitasi minat para santrinya yang ingin tinggal dekat dengannya ia mendirikan masjid dan pondok pesantren di Kalisalak sehingga pengikutnya sering juga disebut Santri Kalisalak. Dalam kaitannya dengan upaya dakwah yang dilakukannya, ada tujuh metode dakwah yang dikembangkan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut:
Di tempat barunya ini K.H. Ahmad Rifa’i menyebarkan pemikiran Islam melalui kitab Tarojumah yang ia tulis sendiri. Kitab Tarojumah ini berbentuk nazham atau syair dalam bahasa Jawa dan berhuruf Arab (Arab Pegon). Hal ini tidak lepas dari kondisi sosio-kultural orang Jawa pada abad ke-19 yang tidak memungkinkan untuk mempelajari dan memahami kitab-kitab yang berbahasa Arab. Selain itu agar mudah dihafalkan dan dipahami. Lambat laun komunitas keagamaan yang dibangun oleh K.H. Ahmad Rifa’i di Kalisalak menarik penduduk sekitar dan daerah lain menjadi santrinya.
Umumnya para santri pengikut K.H. Ahmad Rifa’i adalah masyarakat desa yang mayoritas bekerja sebagai petani. Untuk memfasilitasi minat para santrinya yang ingin tinggal dekat dengannya ia mendirikan masjid dan pondok pesantren di Kalisalak sehingga pengikutnya sering juga disebut Santri Kalisalak. Dalam kaitannya dengan upaya dakwah yang dilakukannya, ada tujuh metode dakwah yang dikembangkan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut:
- Menerjemahkan Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab berbahasa Arab karangan ulama terdahulu ke dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon berbentuk nazham atau syair;
- Mengadakan kunjungan silaturahmi dari rumah ke rumah famili dan masyarakat;
- Menyelenggarakan pengajian umum dan dakwah keliling ke daerah yang penduduknya miskin secara materi dan agama guna membendung budaya asing;
- Menyelenggarakan dialog di masjid atau di langgar (mushola);
- Mengadakan kegiatan kesegaran jasmani bagi pemuda;
- Mengadakan gerakan protes sosial keagamaan terhadap birokrat pribumi dan Belanda;
- Untuk mempererat hubungan antara guru dengan murid dan antara murid dengan murid, biasa dilakukan pula pernikahan sesama murid, anak guru dengan murid (Amin, 1996: 106).
Di Kalisalak K.H. Ahmad Rifa’i tetap melakukan kecaman
dan protes terhadap Pemerintah dan birokrat pribumi. Tindakan ini tentu sangat
meresahkan pemerintah kolonial yang menganggap sikap militan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai ancaman. Kekhawatiran serupa melanda birokrat
pribumi yang khawatir kedudukan dan otoritasnya terancam. Berikut ini adalah
kutipan pernyataan K.H. Ahmad Rifa’i dalam Nazham Wiqayah, salah satu kitab karangannya
(Darban, 1999: 39):
Slameta dunya akherat wajib kinira
Ngalawan raja kafir sakuasane kafikira
Tur perang sabil luwih kadane ukara
Kacukupan tan kanti akeh bala kuncara.
Artinya:
Keselamatan dunia akhirat wajib
diperhitungkan
Melawan raja kafir sekemampuannya perlu
difikirkan
Demikian juga perang sabil lebih dari
pada ucapan
Cukup tidak menggunakan pasukan yang
besar.
Pernyataan sikap yang serupa juga dikemukakannya terhadap para birokrat
pribumi, seperti yang terdapat pada syair dalam Nazham Wiqayah berikut
ini (Darban, 1999: 41):
Sumerep badan hina seba ngelangsur
Manfaate ilmu lan amal dimaha lebur
Tinemune priyayi laku gawe gede kadosan
Ratu, Bupati, Lurah, Tumenggung,
Kebayan
Maring rojo kafir pada asih anutan
Haji, abdi, dadi tulung maksiyat
Nuli dadi khotib ibadah
Maring alim adil laku bener syareate
Sebab khawatir yen ora nemu derajat
Ikulah lakune wong munafik imane suwung
Anut maksiyat wong dadi Tumenggung
Artinya:
Melihat tubuh hina menghadap dengan
tubuh merayap
Manfaatnya ilmu dan amal hilang binasa
Pendapat dan tindakan kaum priyayi
membuat dosa besar
Ratu, Bupati, Lurah, Tumenggung,
Kebayan
Kepada raja kafir senang jadi pengikut
Termasuk haji abdi, menolong
kemaksiatan
Kemudian menjadi kadi khotib ibadah
Kepada alim adil bertindak membenarkan
syareat
Sebab khawatir bila tidak mendapat kedudukan
Itulah amalan orang munafik yang kosong
imannya
Mengikuti perbuatan maksiat orang yang
jadi Tumenggung.
Protes itu disampaikan kepada santrinya di Pesantren Kalisalak maupun melalui pengajian dan khutbahnya di
masjid. Gerakan protes yang dilakukan K.H. Ahmad Rifa’i dengan mengatakan bahwa
pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa kafir, penindas, patut diperangi
dan sumber kerusakan di Jawa terbukti berhasil menimbulkan kekisruhan yang
dapat menimbulkan guncangan stabilitas pemerintahan di Jawa dan dikhawatirkan
memunculkan gerakan anti-penjajah, meskipun tidak sampai menimbulkan
pemberontakan fisik (Darban, 1990: 5). Hal ini membuat K.H. Ahmad Rifa’i dijadikan musuh bersama
oleh Belanda dan aparat birokrasi tradisional. Segala daya dan upaya dilakukan
untuk meniadakan K.H. Ahmad Rifa’i dan jama’ahnya dengan tuduhan bahwa
ajarannya sesat dan menyesatkan.
Persepsi negatif terhadap K.H. Ahmad Rifa’i
dan jamaahnya dapat ditemukan dalam Serat Cebolek karya Raden Panji
Jayasubrata. Dalam Serat Cebolek dikisahkan dua tokoh ulama non-pemerintah yang
dianggap mengajarkan ajaran sesat yaitu Syaikh Muhammad Mutamakin dari desa
Cebolek-Tuban dan K.H. Ahmad Rifa’i dari Kalisalak (Kuntowijoyo, 1999: 123).
Syaikh Mutamakin dituduh mengajarkan mistik sesat yaitu ilmu kasunyatan dan
menganjurkan orang untuk meninggalkan syari’at dan bisa mengganggu ketertiban
umum. Mutamakin menjadi tersangka dan Ketib Anom dari Kudus menjadi pahlawan. Mutamakin
selamat dari hukuman karena adanya suksesi kekuasaan dari Amangkurat IV kepada
Paku Buwono II. Keadaan berbeda dialami K.H. Ahmad Rifa’i yang dituduh
mengajarkan ajaran sesat, menyatakan dirinya sebagai satu-satunya ’alim adil,
dan tidak mengesahkan shalat jum’at di masjid lain selain masjidnya.
K.H. Ahmad Rifa’i disuruh berdebat dengan Haji Pinang Penghulu Batang, meskipun awalnya menang tetapi pada akhirnya ia harus menerima kekalahan dan dibuang ke Ambon kemudian dipindahkan ke Manado hingga wafat pada 1286 H/1878 M dalam usia 92 tahun (Yayasan Rifa’iyah, 2001: 2).
K.H. Ahmad Rifa’i disuruh berdebat dengan Haji Pinang Penghulu Batang, meskipun awalnya menang tetapi pada akhirnya ia harus menerima kekalahan dan dibuang ke Ambon kemudian dipindahkan ke Manado hingga wafat pada 1286 H/1878 M dalam usia 92 tahun (Yayasan Rifa’iyah, 2001: 2).
Tindakan pengasingan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda merupakan
usaha preventif untuk mencegah
timbulnya bahaya yang bisa mengganggu ketertiban dan keamanan, untuk itu ia harus
dijauhkan dari jamaahnya. Meskipun jauh dari pengikutnya ia masih sempat
mengirimkan surat dan empat kitab yang dititipkan pada saudagar Semarang yang
bernama Abdullah (Darban, 1999: 52).
Keempat kitab
itu adalah Targhibul Mithalab tentang ushuluddin, Hidayatul
Himmah tentang tasawuf, Kaifiyatul Miqshad tentang ibadah dan Nasihatul
Haq tentang tasawuf. Surat dari K.H. Ahmad Rifa’i
ditujukan kepada menantunya Maufuro, istri dan para santrinya yang isinya
antara lain:
- Agar para santrinya tetap mantap dan jazem mengamalkan kitab tarojumah dengan jalan menyalin, mendalami, dan mengamalkannya agar selamat dunia akhirat;
- Kepada santri yang telah mendalami dan berlaku adil agar menjadi saksi, memberi fatwa dan mengesahkan keislaman orang yang membutuhkan;
- Agar santrinya masih ada yang berani melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Ia mengkhawatirkan adanya musibah kerusakan agama di Jawa setelah ditinggalkannya;
- K.H. Ahmad Rifa’i menganjurkan para santri dan pengikutnya jangan mempunyai rasa belas kasihan terhadap pemerintah kafir;
- Wasiat khusus bagi istrinya Sujinah, apabila belum kawin lagi tetap dianggap sebagai istrinya. Namun apabila sudah kawin dengan orang lain ia ridho dan ikhlas. Di samping itu kitab Asnal Miqshad agar diberikan kepadanya.
Jika pesan-pesan
tersebut diamati, ia masih mempunyai semangat dan idealisme dalam perjuangan
meskipun ia hidup di pengasingan jauh dari para pengikutnya. Hal ini bisa
dilihat dari perintahnya agar tetap amar ma’ruf nahi munkar terhadap
penguasa zalim (Darban, 1999: 62-63).
Di antara murid-murid generasi pertama K.H. Ahmad Rifa’i adalah K.H. Abdul
Qohar (Kendal), K.H. Muhammad Tubo, K. Abu Ilham (Batang), K. Maufuro
(Limpung), K. Hasan Dimejo (Wonosobo), K. Abdus Saman (Kendal), K.
Abdullah/Dolak (Magelang), Abdul Ghani Wonosobo, Muhammad Toyyib (Wonosobo),
Ahmad Hasan (Pekalongan), Nawawi (Batang), dan sebagainya. Murid-muridnya
inilah yang menyebarkan ajaran Tarojumah ke berbagai daerah di Jawa Tengah dan
sekitarnya (Amin, 1989: 22).
Sekarang pengikut Jamaah Rifa’iyah dan simpatisannya tersebar di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian utara seperti Kendal, Pekalongan, Batang, Wonosobo, Pati, Magelang, Demak, Purwodadi, Pemalang, Indramayu, Cirebon dan sebagainya bahkan sampai ke Jakarta.
Sekarang pengikut Jamaah Rifa’iyah dan simpatisannya tersebar di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian utara seperti Kendal, Pekalongan, Batang, Wonosobo, Pati, Magelang, Demak, Purwodadi, Pemalang, Indramayu, Cirebon dan sebagainya bahkan sampai ke Jakarta.
0 comments:
Post a Comment